Apakah turis ‘selfie’ di tempat-tempat ‘Instagrammable’ masih jadi tren?

wisata

Perilaku buruk para turis di berbagai lokasi wisata dunia demi mendapatkan foto yang sempurna untuk diunggah di media sosial, membuat sejumlah pengelola tempat wisata dan operator tur mendorong pengunjung untuk menikmati liburan – alih-alih sekadar ‘selfie’ atau swafoto.

Hampir 10 tahun yang lalu, putra Karthika Gupta yang berusia lima tahun jatuh di Taman Nasional Yellowstone akibat ulah wisatawan yang berlomba-lomba untuk berswafoto dengan latar belakang bison yang sedang berkeliaran.

Namun sejak kejadian yang menyedihkan itu, Gupta, seorang fotografer dan penulis, melihat perilaku buruk wisatawan demi mendapatkan selfie yang sempurna makin menjadi-jadi.

Dalam perjalanannya ke Sri Lanka tepat sebelum pandemi, ia menyaksikan gerombolan wisatawan berdesakan untuk mendapatkan foto Bukit Pohon Kelapa di Mirissa yang terkenal sebagai tempat yang ‘Instagramable’.

Meskipun tidak ada seorang pun (yang dia lihat) yang terluka, Gupta amat terganggu. Dia pun menjadi frustrasi karena tidak dapat melihat sepenuhnya, apalagi memotret, pemandangan matahari terbenam yang terkenal di tempat itu.

Gupta tidak menentang pengambilan foto (dia juga berharap mendapatkan beberapa foto untuk portofolionya), tapi dia tidak bisa menerima apa yang dia gambarkan sebagai “kurangnya perhatian terhadap orang lain”.

Pemandangan yang seharusnya indah dan menawan, kini dirusak oleh perilaku buruk terlalu banyak orang yang mencoba mengambil foto pemandangan spektakuler tersebut.

“Ini bukan kenangan yang indah,” kata Gupta tentang kunjungannya ke salah satu tempat paling populer di Sri Lanka (pada saat publikasi, #MirissaSriLanka memiliki lebih dari 20.000 tag di Instagram)

Budaya selfie bukanlah hal baru, begitu pula dengan “ perilaku menyimpang ”, menurut Vanja Bogicevic, seorang profesor klinis di Tisch Center of Hospitality di New York University, mencatat bahwa perilaku seperti ini sudah ada sejak lama.

Namun dengan meningkatnya “perjalanan balas dendam ” dan “ketakutan akan ketinggalan”, overtourism – dan budaya selfie, yang tampaknya merupakan konsekuensi yang saling berkaitan – semakin meningkat sejak pandemi, jelasnya.

wisata

Meskipun beberapa pemerintah daerah berusaha memikat turis untuk mengunjungi objek wisata dan wilayah yang kurang dikenal – Bogicevic mengutip upaya Amsterdam untuk memindahkan distrik lampu merahnya ke pinggiran kota dan upaya Florence untuk menarik wisatawan ke lingkungan yang kurang dikenal.

Destinasi lain, seperti Venesia, tidak dapat melakukan hal tersebut karena popularitas tempat itu yang sampai-sampai merugikan nilai-nilai kota dan menimbulakan rasa kekecewaan penduduk setempat .

Bulan lalu, sebuah gondola di kanal-kanal Venesia terbalik ketika sekelompok pelancong dari China menolak untuk duduk dan berhenti demi mengambil foto.

Ini bukan pertama kalinya seorang turis membuat kerusakan di Venesia, dan kemungkinan besar ini bukan yang terakhir di kota terkenal di Italia itu – atau di tempat lain.

Meskipun ada upaya dari berbagai destinasi di seluruh dunia yang menginginkan wisatawan untuk berhenti dan menikmati suasana tanpa harus mengabadikan setiap detiknya dengan kamera, ada pengunjung yang “melanggar norma masyarakat”, menunjukkan perilaku yang “tidak menghormati budaya”, kata Bogicevic .

Baik itu berpakaian yang tidak pantas di tempat keagamaan (dengan melakukan selfie), berpose di depan tugu peringatan, atau melakukan perilaku pengambilan foto yang berisiko (seperti di Venesia), perilaku ini dapat menimbulkan masalah baik bagi warga maupun pengunjung.

Jumlah penduduk setempat yang keberatan dengan perilaku wisatawan yang buruk juga terus meningkat. Mereka menyuarakan keprihatinan kepada pihak berwenang yang mulai mengambil tindakan.

Para pengambil kebijakan dan pemerintah menerapkan langkah-langkah untuk membatasi perjalanan ke lokasi-lokasi tertentu, membatasi kapasitas , atau memungut biaya yang tinggi untuk kunjungan .

Beberapa bahkan mengambil tindakan langsung terhadap pengambilan foto dan selfie.

wisata

Dua tahun lalu, Selandia Baru mengadopsi pendekatan inovatif untuk memerangi budaya selfie dengan mendesak wisatawan untuk berhenti mengambil foto yang terinspirasi dari influencer di tempat-tempat wisata dan sebagai gantinya berbagi sesuatu yang baru tentang perjalanan mereka di negara tersebut.

“Jika seseorang mengamati seorang influencer, dan mereka terdorong untuk pergi ke destinasi tersebut, mungkin influencer bertanggung jawab untuk benar-benar mengedukasi wisatawan [melalui konten mereka],” katanya.

Namun, bagi sebagian wisatawan Gen X, aktivitas selfie yang tiada henti hanya akan menjadi gangguan, dan justru tidak menjadi inspirasi untuk melakukan perjalanan dan perencanaan perjalanan di masa depan.

Gupta dan keluarganya, yang tinggal di Chicago, menyukai Yellowstone tetapi sekarang mereka pergi ke sana saat musim dingin, ketika pengunjungnya jarang.

Mereka rutin mencari destinasi yang tidak populer untuk menghindari kerumunan wisatawan yang terobsesi dengan selfie.

“Saya kesal karena orang-orang menolak untuk mematikan perangkat dan menikmati momen,” tambah Jeremy Harlan, produser CNN (dan seorang Gen X) yang tinggal di Denver, Colorado, dan sering bepergian untuk bekerja dan bersantai.

“Jika Anda sedang berjalan-jalan di sekitar Montserrat, berhentilah dan lihat keindahannya dengan mata Anda dan bayangkan itu di kepala Anda. Sebuah iPhone 15 tidak bisa meniru gambar itu.”

Budaya selfie telah merusak jalanan berbatu di Dumbo, Brooklyn, menurut Allison Tick, seorang desainer interior yang mengidentifikasi diri sebagai anggota Gen X.

Dumbo adalah “contoh sempurna” tentang bagaimana “fenomena ini sudah keterlaluan”, kata Tick, yang menunjukkan bagaimana seluruh jalan di lingkungan tersebut kini diblokir “untuk selfie”.

Itu bukan tempat yang bisa dia nikmati lagi, dan dia bilang itu memalukan.

“Pertama-tama, aku tahu ini hanya menunjukkan umurku, tapi kata selfie pun aku benci. Anda hanya memotret dirimu sendiri.”

wisata
Keterangan gambar,Budaya selfie telah merusak jalanan Dumbo di Brooklyn, menurut Allison Tick.

Atau, Anda memotret diri sendiri dan seekor kucing liar dan melewatkan esensi pengalaman berburu truffle yang Anda bayarkan dan kemudian mengeluhkannya nanti, seperti yang terjadi pada salah satu peserta Experience BellaVita , operator tur independen di Italia.

Hal ini pada akhirnya menyebabkan perusahaan menerapkan cara baru bagi peserta berburu truffle untuk “membenamkan diri dalam momen”, jelas Marino Cardelli, pemilik Experience BellaVita .

Kini, dalam perburuan truffle di Abruzzo, para peserta Experience BellaVita diberikan peralatan – cangkul berburu truffle dan camilan untuk anjing pemburu truffle – sehingga mereka secara aktif terlibat dengan pengalaman tersebut dan tidak terlalu cepat meraih perangkat mereka.

Intinya, kata Cardelli, adalah untuk mencegah orang menggunakan ponsel mereka sehingga mereka bisa mendapatkan “pengalaman perjalanan yang lebih bermakna yang melampaui kedangkalan selfie”.

Meski begitu, Cardelli memahami keinginan untuk mendapatkan gambaran visual dari pengalaman berburu truffle, itulah sebabnya dia menyewa seorang fotografer profesional untuk mendokumentasikan pengalaman tersebut bagi para wisatawan.

Untuk mendorong pengalaman perjalanan yang lebih kaya dan spontan, FTLO (For the Love of Travel), sebuah perusahaan perjalanan yang terutama merancang perjalanan kelompok untuk Milenial dan Zoomer, baru-baru ini meluncurkan keberangkatan tanpa telepon .

“Jika seseorang tidak dapat berkomitmen untuk melakukan seluruh perjalanan tanpa telepon,” mereka didorong “untuk menjalani beberapa hari tanpa telepon”, kata Tara Cappel, CEO dan pendiri perusahaan, yang percaya bahwa praktik ini akan memungkinkan peserta kelompok untuk melakukan perjalanan tanpa telepon menikmati sepenuhnya tanpa merasakan tekanan untuk memposting di media sosial.

wisata

Operator tur kini menawarkan perjalanan tanpa perangkat untuk memberikan pengalaman yang lebih kaya dan koneksi yang lebih bermakna.

Meskipun sebagian besar generasi X menyuarakan ketidaksukaan mereka terhadap budaya selfie, Cappel percaya bahwa generasi Milenial dan wisatawan Gen Z juga tertarik pada pengalaman bebas gangguan – ‘digital detox’ di mana mereka dapat meletakkan ponsel dan terhubung dengan wisatawan lain serta lingkungan sekitar.

“Ada perbedaan besar dalam pengalaman perjalanan tanpa tekanan smartphone,” kata Cappel.

Tick tidak selalu memerlukan perjalanan tanpa telepon; dia menghargai memiliki foto untuk dilihat kembali setelah perjalanan.

Namun yang dia tidak suka adalah usaha untuk berpose dan perjuangan demi kesempurnaan dalam upaya untuk membuat semuanya terlihat ‘candid’.

“Saya suka foto, dan saya suka jalan-jalan dan mempunyai foto-foto sehingga saya bisa mengingat banyak hal,” kata Tick. Tapi dia berharap itu lebih sederhana. “Jika kamu ingin berfoto, ambillah fotonya.”

Dan jika Anda masih merasa perlu untuk mendapatkan foto Instagram yang sempurnahttps://menghadapimu.com/, O’Keefe mengatakan bahwa membatasi perilaku selfie yang tidak bertanggung jawab adalah setengah dari edukasi dan setengah dari penegakan hukum.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*